Kamis, 13 September 2007

Follower & Limpahan



Banyak yang nyinyir ketika ada perusahaan menjadi follower. Banyak yang marah ketika usahanya disebut follower. Kenapa nggak berani bilang, ya memang kita follower, so what?Adakah follower yang berhasil?

Follower memang meminderkan orang, karena identik dengan tidak kreatif. Follower memang bisa menjadi awal yang tidak baik. Bahkan sepanjang usahanya, seorang/perusahaan yang sudah dicap sebagai pengikut atas usaha orang lain atau produk orang lain, harus membuktikan diri bahwa usahanya bagus.

Sebentar. Sebelum masuk pembahasan lebih jauh, izinkan saya sampaikan beberapa pengalaman. Suatu hari ketika harus merekrut orang untuk sebuah posisi, pelamar bilang dirinya kreatif bahkan inovator. Sehingga saya mestinya menerimanya.

Namun ketika ditanya bukti dari inovasinya, dia menyebutkan karya-karya seperti yang sudah terjadi di manca negara. Loh, itu bukan inovasi tapi menjiplak asing. Dia bersilatlidah bahwa mempraktekkan yang belum ada menjadi ada di sebuah tempat, itu inovasi juga. Katanya lagi, di dunia ini tidak ada yang benar-benar bisa disebut sebagai inovasi murni. Benarkah?

Inovasi memang menjebak. Maka dalam sebuah tulisannya, Dan Saffer seorang kolomnis bisnis yang berlatar belakang desainer, menilai sebagian besar yang terjadi lebih sebagai enrichment ketimbang inovasi. Apalagi inventor, jauh dari itu.

Toyota bisa jadi membuat mobil karena mereka belajar di GM. Namun kemudian mereka bisa melakukan enrichment dan mengembangkan lainnya sehingga maju. Al Jazeera bisa jadi dianggap mencontek CNN dengan laporan berita perangnya. Namun dengan dengan sudut pandang yang berbeda, membuat mereka kemudian menjadi acuan.

Nah, kalau memang Anda menjadi follower dan bisa running, mengapa malu mengakuinya. Di industri rokok misalnya, kita tahu yang pertama adalah A-Mild milik HM Sampoerna. Kemudian setelahnya ada StarMild, ClassMild, X-Mild, LA-Light dll.

Mereka harus diakui adalah pengikut. Sampai sekarang, leadernya masih A-Mild. Namun apakah yang lain tidak mendapatkan limpahan rizki, pasti dapat. Limpahan inilah yang penting. Asal sebar dan menerima sebagai produk yang mendapat keuntungan dari limpahan, cukup.

Mendapatkan pemasukan atau revenue dari limpahan, bukan berarti jelek. Karena, bisa jadi, secara cost optimum. Sebab, untuk memproduksi barang tersebut tidak mengeluarkan beberapa biaya lain seperti survei pasar, riset rasa, riset kemasan, pricing strategy dll. Cukup melakukan benchmark, beres.

Ada contoh yang lebih mengena. Dalam sebuah kesempatan, ada seorang pengusaha makanan yang membuka warung/restonya di tempat yang strategis. Strategis yang dimaksud dia adalah, tempat kosong di dekatnya resto yang sudah laris.

Alasannya mendekat warung yang sudah laris? ”Ya, kita terima limpahan saja. Kalau warung sebelah saya yang sudah ngetop penuh, siapa tahu calon konsumen berkenan ke warung saya,” kata sang pengusaha.

Dia tidak berambisi untuk menyaingi warung yang sudah mapan. Buktinya, dia tidak menjual makanan yang sama. Dia tidak menjual harga yang terlalu jauh harganya, agar tidak merusak harga. Dia juga tidak berambisi untuk mengalahkan atau ”head to head” dengan warung yang sudah mapan. ”Saya kan follower dia, tapi puas.”

Mengapa puas, orang ini pun membuka rahasia. Bahwa kalaupun dia tidak bisa selaris dari warung sebelah, dia cukup senang. Bukan berarti dia keuntungannya tidak bisa sebesar di sebelahnya. Paling tidak, dia tidak mengeluarkan biaya survei lokasi yang harus dilakukan berkali-kali. Sebab, sebuah tempat makanan, toko, bengkel dan lain-lain, soal lokasi usaha itu penting. Kalau boleh ditanya berkali-kali apa faktor yang membuat usaha Anda bagus, maka jawabnya bisa jadi : lokasi strategis, lokasi strategis, sekali lagi lokasi strategis.

Jadi?

Fotokopi Bisnis

Jangan salah dengan apa yang dimaksud dengan dua kata di atas. Bukan sebuah usaha fotokopi yang marak di sekitar kantor atau kampus/sekolahan. Tapi fotokopi bisnis adalah sebuah tindakan orang lain atau perusahaan untuk meniru (meng-copy) produk pihak lain sama persis seperti produk aslinya. Fotokopi bisnis ini bukan produk aspal (asli tapi palsu) tapi ini produk resmi tapi meniru.

Seperti banyak diketahui, di dunia bisnis banyak sekali terobosan produk. Ketika produk itu sukses, maka banyak pihak akan menirunya dari berbagai penjuru. Para peniru itu tidak hanya satu, tapi biasanya mengepung habis-habisan. Usaha pemotokopian tersebut tidak tanggung-tanggung: biasanya produknya sama, kemasannya mirip, rasanya tidak jauh beda, ukurannya beda-beda dikit, color brandnya persis, bahkan pilihan font huruf bisa memelesetkan mata orang yang membacanya.

Di tulisan ini tidak membahas soal etis dan tidak etisnya tindakan peniruan yang sama persis tersebut. Karena persaingan bisnis, kadang pihak yang pioneer yang menemukan formula atau produk tertentu, bisa gerah dengan tindakan perusahaan yang mengkopi habis produknya. Tak jarang berujung di pengadilan seperti extra joss dan enerjoss.

Yang menjadi pertanyaan adalah, akankah produk pioneer bisa dikalahkan oleh produk yang menconteknya? Tentu sebuah pertanyaan simpil dari siapapun, yang bisa saja simple tapi juga bisa rumit untuk dijawab.

Dalam sebuah pengakuan Phil Condit, CEO Boeing, perusahaan penerbangan (aviation) kenamaan dari AS pernah terucap, “Bila Anda hanya melakukan hal yang biasa dilakukan oleh pesaing Anda, itu merupakan cara termudah untuk kehilangan uang.”

Condit tentu tidak asal ucap mengatakan hal itu. Dia memberi contoh peta persaingan dunia penerbangan internasional. Suatu kali Lockheed dan Douglas membuat produk yang disebut dengan trijet. Produknya persis sama. Akhirnya keduanya saling menjatuhkan, menghancurkan, dan berseteru forever. Dari situ dia mengambil hikmah, bahwa meniru adalah jalan menuju kehancuran!”

Walau keberadaan Condit sebagai salah satu suhu bisnis yang banyak didengar ucapannya, tapi banyak juga yang tidak menghiraukannya. Tidak ada produk yang dibiarkan jalan sendiri. Keberhasilan sebuah produk pasti diikuti perusahaan lain untuk membuat produk sejenis yang mirip sekali, bak fotokopi.

Indomie goreng misalnya ditiru oleh Mie Sedaap yang awalnya hanya mie goreng dengan bungkus yang sama persis dengan produk sejenis keluaran Indofood. Extra joss yang sukses dengan minuman berenergi namanya dicontek oleh Enerjoss dengan produk sejenis tapi dalam botol, sementara Naturade, Panther, Hemaviton jreng pun mengejarnya terus.

Stasiun televisi yang sukses mengeruk iklan karena tayangan infoainmennya misalnya, pasti akan diikuti oleh teve-teve lain untuk membuat program yang sama. Pendeknya, tak akan ada program sukses yang bisa melenggang sendiri.

Banyak cerita menyebutkan, pioner pasti akan tetap berjaya. Sampai sekarang Aqua air minum tetap belum tergeser brandnya oleh Ades, Vit, Prima, Aquaria, dll-dll. Produk teh dalam kemasan botol yakni Teh Botol Sosro masih memimpin meski sempat dihadapi oleh Lipton Tea, teh botol HC, Tekita, hingga Freshtea. Juga rokok A Mild-nya Sampoerna yang sukses luar biasa ditandingi banyak rokok ringan (mild) lain, mulai dari Star Mild, Class Mild, Mezzo, X-Mild, dan lain-lain, tapi tetap saja sang pioneer berjaya.

Memang tidak semua produk bisa disebut sebagai fotokopi, karena masih saja ada perbedaan sedikit-sedikit, meski tidak massive atau radikal. Satu hal yang menjadi sedikit filosofi untuk membuat fotokopi bisnis/produk adalah, tidak mereka perlu melakukan riset pasar yang sangat mendalam. Fokus pada item mana yang perlu dihajar duluan. Penyampaian ke pasar mengenai product knowledge juga mudah karena sudah disosialisasi lebih dulu oleh sang pioneer.

Strategi yang paling banyak dilakukan perusahaan yang melakukan fotokopi bisnis, adalah melalui budget iklan/promosi yang edan-edanan. Membangun image brand tidak cukup dengan above the line (ATL) tapi juga below the line (BTL) secara sistematis dan habis-habisan. Misalnya saja Mie Sedap selain menggunakan cara promosi yang sangat besar dan hard selling – talent/endorser/bintang iklan langsung menyampaikan kesan produk – mereka juga melakukan promosi BTL dengan memberikan hadiah gratis mangkuk/piring untuk pembelian setiap karton/dus mie. Belum lagi potongan harga yang gila-gilaan sehingga memberikan margin ke pedagang begitu besar, serta hadiah-hadiah regular yang mampu meretensi (mempertahankan) pelanggan.

Informasi terakhir menyebutkan bahwa market share mi instant sudah demikian signifikan perubahannya, disbanding pada tahun 2002 yang sekitar 68% milik Indomie saja, dan bila ditotal dengan Indofood Grup (Sarimi, Supermie) di atas 80%, sekarang berbeda. Sudah sekitar 20-an persen pasar mie instant mulai bergeser ke Mie produk dari Wings Food (mie sedaap) dan sekitar 10% lainnya ke GagaMie, Alhami, Salamie, Kare, dll.

Tentu saja pertarungan ini bukan satu-satunya bukti perseteruan antara pioner dengan sang peniru (fotokopi bisnis). Banyak contoh lain. Tapi terlalu gegabah untuk menyatakan bahwa pioner pasti unggul atau peniru pasti kalah.

Ucapan Phil Condit tentu dalam saat tertentu benar tapi dalam waktu yang lain, bisa jadi premisnya terbantahkan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kegagalan premisnya, misalnya menyangkut jenis produk, tipe konsumen, peta persaingan, kekuatan/besarnya pasar, dan lain-lain. Waktu juga yang akan menjawab. Tapi sampai waktu kapan produk dinyatakan menang dan kalah, itu hal lain lagi. (SAP)

Koopetisi, Please Deh


Persaingan bisnis, di arena manapun, tak bisa dielakkan. Bukan mesti disengaja, tapi secara natural selalu terjadi. Di dunia bisnis seluler, demikian sengitnya, akhirnya masuk pada pilihan yang paling rawan dan keras tapi klasik: persaingan harga. Jadinya banting-bantingan harga sampai bisa terjebak dalam service (layanan) yang kadang terlupakan.

Perbankan, tak ayal juga seru dalam melakukan persaingan. Terutama dalam strategi akuisisi pelanggan. Apalagi dengan makin banyaknya model bisnis di mana bisnis bank tidak sekadar untuk mendapatkan dana nasabah dan memutar dana nasabah, tapi sudah masuk bisnis saham. Dimana jumlah coastumer dijadikan sebagai objek untuk valuasi perusahaan termasuk bank. Sehingga program retensi sering dilupakan. Akibatnya pelanggan baru lebih dinikmatkan sedangkan pelanggan lama yang setia justru dilupakan.

Airline, lebih seru lagi. Dengan munculnya paket-paket murah penerbangan, antar operator juga sudah masuk wilayah peperangan yang seru: harga murah. Ketika kemudian banyak terjadi kecelakaan beberapa waktu lalu, maka mulai menyoal dengan biaya maintenance yang mungkin terabaikan, sehingga keselamatan penumpang jadi pertaruhan.

Masih banyak lagi peta bisnis lain yang tak terekam lebih di sini. Namun dari contoh-contoh sekilas di atas, menunjukkan betapa besarnya risiko sebuah usaha yang harus dihadapi, ketika masuk peta persaingan riil. Di era non monopoli -- kecuali duopoli telekomunikasi Telkom-Indosat untuk full services telekomunikasi -- semua persaingan terjadi secara natural. Tak ada lagi main proteksi, tak ada lagi main kabelece, anak emas- anak tiri, dll. Tak jarang aqntarperusahaan berdarah-darah untuk bersaing. Untuk melahirkan sebuah produk, sementara biaya developmentnya mahal, jualannya harus murah. Untuk murah itu, memang akan mendapatkan untung sedikit, harus mengejar volume penjualan, namun untuk jual murah harus keluar duit besar agar orang tahu kalau produknya murah, yakni Promosi.

Di bisnis global, sudah mulai dirasakan dilakukan koopetisi. Dalam hal ini, perusahaan tidak mesti membangun seluruh item secara mandiri dari A to Z. Di telekomunikasi misalnya, perusahaan seperti Orange, Vodafone, atau Telefonica tidak membangun seluruh BTS sendirian. Namun, BTS bisa dimanfaatkan bersama dengan sistem share traffic. Bahkan dengan sistem MVNO perusahaan perorangan yang memiliki lokasi titik optimum untuk tempat BTS, bisa menjadi operator agregator yang mendapatkan keuntungan dari traffic pelanggan sehingga akan mendapatkan share revenue dari operator besar sebagai pengguna BTS. Bila hal itu dilakukan di sini, sejak lama, bisa jadi harga pulsa ke pelanggan bisa semakin murah. Karena tidak seluruhnya item biaya ditanggung sendiri oleh operator tersebut.

BANK
Dahulu, dalam dunia perbankan Indonesia juga terjadi persaingan keras. Dengan rayuan investasi teknologi, bank banyak yang menjadi korban investasi yang sangat bergantung pada vendor. Akhirnya, antarbank sadar dan terasa bahwa investasinya tinggi sehingga perhitungan ROI (return of investment) akan lama terkejar. Sehingga, ditemukan terobosan ATM bersama, platform bersama dan NOC (network operation centera) system bersama.

Di sini hardware yang bersisi software dan data klien bisa dikelola bersama, dimanfaatkan bersama, tidak harus investasi sendiri-sendiri. Jadinya, perbankan tidak harus investasi besar-besaran tapi bisa memanfaatkan network bersama tewrsebut dengan tanpa mengurangi kualitas layanan.

ISP-HOSTING
Barangkali para pemain bisnis di bidang IT, utamanya penyediaan jasa internet sudah lebih dulu sadar dengan koopetisi ini. Tatkala harga bandwidth sebagai hal utama mata dagangan ISP menjadi beban pengguna, harganya mahal, masa tempuh (akses/loading) lama, para pemain ISP menemukan mekanisme exchange. Strategi Bill Manning itu kemudian diterapkan di Indonesia dan dibangunlah internet exchange di Indonesia (IIX/Open IXP).

Seluruh aliran data dari website yang dibawa oleh ISP dikumpulkan ke IIX, dan seluruh aliran pengambilan data juga mengarus dari exchange ini, sehingga jatuhnya ke pelanggan, beban bandwidth-nya tidak banyak, jadi lebih murah. Pelanggan membayar yang perlu saja.

Pada prinsipnya, setiap arena bisnis yang sama, meski masing-masing mengeluarkan jurus startegis dan unik, selalu ada lapangan atau layanan yang bisa dilakukan secara bersama-sama, atau common need. Common need ini bukan masuk wilayah politis atau srategi, tapi lebih ke teknis operasional.

Sebagai contoh perusahaan impor-ekspor, selalu ada common misalnya sewa gudang. Para pemain konten atau e-commerce, perlu common mengenai alat pembayaran atau payment gateway.

Ada beberapa common – sesuatu yang menjadi concern bersama – itulah yang bisa dilakukan. Biasanya bisa dimulai dengan nasib bersama sehingga kumpul dalam sebuah wadah/asosiasi. Mulai dari komunitas dulu misalnya. Kemudian dalam beberapa pertemuan antarpersonal atau antar-entity akan dilakukan pembahasan bersama yang tidak bertabrakan dengan bisnis inti masing-masing. Namun justru membuat semacam fasilitas bersama, yang – mungkin – nirlaba. Inilah model-model koopetisi, yang ujungnya akan sangat positif bagi perusahaan sehingga bisa menekan biaya, memurahkan harga ke end-user/pembeli, dan mempercepat ROI (return of investment). Ini adalah kata kunci.

Siap berkompetisi, mestinya juga siap berkoopetisi.

Jumat, 10 Agustus 2007

Jalan Sendiri, Nggak Seru dan Nggak Tumbuh

Sebuah spanduk mencolok bertuliskan You’ll never walk alone nampak diarak diantara ribuan orang di kota pelabuhan Liverpool, Inggris, setelah kesebelasan kesayangan kota itu Liverpool (The Reds) meraih juara Piala Champions.

Memang, jalan rame-rame lebih menarik dan seru daripada jalan sendiri. Jangan biarkan, siapapun, jalan sendiri. Sepi. Begitu pula dalam peta bisnis dan pemasaran.

Ketika belasan tahun lalu mungkin sebagian besar orang seolah tidak ada pilihan lain untuk makan kacang kecuali Dua Kelinci, tiba-tiba diramaikan oleh Kacang Garuda yang progresif.

Seolah tersentak, Dua Kelinci lalu mengeluarkan jurus kreatif dalam komunikasi publik. Makin seru ketika isu kolesterol jadi objek pertarungan. Yang satu memunculkan kacang atom satunya muncul dengan nama sukro. Barangnya sama. Tapi seolah-olah Garuda tidak menjual sukro dan Dua kelinci tak bikin kacang atom. Atau ngomong kacang atom ya Garuda, ngomong sukro ya Dua Kelinci.

Lebih seru lagi, lima tahun lalu siapa sangka bahwa Indofood dalam bisnis mie instannya akan ada yang bisa menandingi. Dengan produk andalannya Indomie, apapun yang diproduksi akan ludes diterima pasar. Sampai kemudian membuat produk yang customized dengan judul Selera Nusantara. Kalau ada lawan, tidak cukup menggoyahkan.

Siapa sangka kemudian kelompok Wings yang sebelumnya menjadi ’penggoda’ Unilever di toiletries, tiba-tiba mengepakkan sayap WingsFood dengan produksi mie instan Mie Sedap. Dengan dagangan utama mi goreng disusul promosi hard selling yang massive tiba-tiba menggerogoti serius pangsa pasar Indomie.

Rabu, 08 Agustus 2007

Penjenuhan Bisnis

JAMAK terjadi bahwa ketika sebuah bisnis sukses, terjadi upaya untuk ngeriung alias ikutan rame-rame. Pasar dibuat sedemikianrupa hingga cepat jenuh, bisnis jadi tidak menarik.
Jamak terjadi bahwa ketika sebuah bisnis sukses, terjadi upaya untuk ngeriung alias ikutan rame-rame. Tidak ada lagi rasa tabu untuk menjadi follower.

Di jalanan, ketika ada contoh sukses pisang goreng Ponti (kepanjangan dari Pontianak), maka banyak kedai bermunculan dengan nama yang hampir mirip-mirip. Jadinya, sekarang mulai banyak yang berguguran. Bukan tidak mungkin sebentar lagi habis.

Tatkala AFI di Indosiar muncul, dimana pemilihan bakat penyanyi dilakukan dengan pendekatan bisnis SMS untuk menentukan mereka yang tereliminasi, maka banyak TV bekerjasama dengan operator dan content provider (CP) ngeriung. Lalu muncullah Indonesia Idol (penyanyi), Pildacil (dai cilik), API (lawak), DreamBand (grup band) dll. Semua modelnya sama, mengirim sms dukungan kepada kontestan.

Kemudian, saat ini para pendukung mulai sadar, bahwa mereka untuk melakukan dukungan, ternyata harus membayar. Semakin fanatik semakin mahal pulsa yang dibayar. Bahkan, ada yang membuat tim sukses yang modalnya puluhan bahkan mungkin ratusan juta. Siapa untung, CP dan operator tentu.

Apakah bisnis tersebut bagus atau tidak, bukan perkara mudah menjawabnya. Ada beberapa pandangan, mumpung masyarakat lagi demam, hajar terus. Kalau jenuh, cari peluang lainnya. Yang penting target terpenuhi, segera tertutupi. Ya, kita memang harus melihat fakta, bahwa dalam setiap usaha di era modern dan semakin kapitalis ini, target-target-target selalu dibuat sedemikian rupa untuk diraih. Nah, tidak jarang target menelikung para pelaku bisnis dengan proses pembunuhan dini karena faktor kejenuhan tersebut.

Sebelum membahas lebih dalam, perlu kiranya diperhatikan beberapa gambaran di bawah ini. Seorang teman mengaku suka sekali dengan ayam goreng. Pada kurun waktu selama 2 minggu, rekan-rekannya secara bergantian mentraktir teman tersebut dengan menu yang sama: ayam goreng. Pada hari terakhir dia lalu berkomentar: Gila loe, tiap hari aku kamu suruh makan ayam goreng sampai blenger. Apa yang terjadi, di hari-hari berikutnya dia pasti tidak mau makan ayam goreng lagi, bahkan bukan tidak mungkin akan berhenti total seterusnya, kapok.

Di sebuah kota di Solo, ada sebuah toko srabi yang cukup terkenal di kawasan Notosuman. Setiap hari lebaran, dimana insan-insan dari Solo mudik, jangan harap bisa mendapatkan srabi di atas pukul 12.00 WIB, pasti sudah kehabisan.

Meski sudah habis, sang penjual srabi tidak juga memperbesar volumenya. Bahkan tidak juga membuka cabang di tempat lain. Tampaknya sang penjual sudah menentukan bahwa untuk sehari volume logis yang harus diproduksi adalah sekian kilo terigu atau sekian liter santan dll.

Tapi apa yang terjadi dengan kasus srabi ini? Setiap hari selalu ada saja orang yang penasaran ingin membeli esok harinya, dan selalu berusaha datang lebih awal agar tidak kehabisan. Bukan membuat orang jenuh dan menghentikan makan srabi, tapi sebaliknya malah menghasilkan puluhan orang penasaran. Para penasaran-wan dan penasaran-wati ini tidak lagi menghitung kemungkinan karena terlalu sedikit bahan yang diproduksi, kemungkinan kesulitan mendapatkan kelapan untuk santan dan lain sebaginya, yang ada di benak mereka sebagian besar adalah: saking enaknya sampai kita tidak pernah kebagian!

Ini tentu bukan satu-satunya contoh. Banyak orang melakukan bisnis seperti ini, yang oleh para kapitalisme modern sering dicibir dengan kalimat: "kenapa tidak buka cabang", "kok nggak bikin lebih banyak lagi sih" , atau "wah mestinya bisa dibuat beraneka macam rasa dan ukuran dong".

Dalam sebuah teori klasik, setiap kita melakukan usaha yang berkaitan dengan produksi selalu diperhitungkan laba yang diambil dari harga pokok produksi. Dari situ akan bisa diketahui nilai optimum dari hasil produksi atas kinerja secara keseluruhan.

Barangkali orang bisa beranggapan bahwa pedagang makanan srabi seperti contoh di atas membuang kesempatan dan tidak mau dengan untung yang di depan mata. Namun, barangkali sang pedagang sudah menghitung nilai optimum yang didapat.

Bila saja pedagang srabi meningkatkan omset produksi memenuhi pasar, kemungkinan yang terjadi adalah misalnya sbb; mereka harus menambah tenaga pelayan, mengurangi jam istirahatnya, tidak menghasilkan rasa yang prima yang menjadi ciri khas, mempercepat aus barang-barang atau bejana yang menjadi bagian dari proses produksi, dan tidak menghasilkan rasa kangen atau penasaran pelanggan.

Sering orang salah menterjemahkan bahwa penghasilan optimal adalah identik dengan penghasilan besar. Optimum itu adalah identik dengan ROI (return on investment). Bila saja menuruti pasar, dalam contoh pedagang srabi tersebut mungkin yang semula untung Rp 1 juta akan menjadi Rp 1,5 atau bahkan Rp 2 juta. Namun, kalau dihitung dengan risiko harus menambah gaji pelayan, berkurangnya istirahat, kerusakan barang produksi, bahkan pembeli cepat jenuh, maka sustainibility (kesinambungan) usaha tersebut bisa jadi tidak berlangsung lama, bahkan bisa mati di usia dini. Hanya dengan hitungan yang cermat dan upaya mengalahkan emosi/nafsu semua kehancuran fatal bisa dihindari.

Nah, sekarang tinggal memilih, mau memanfaatkan momentum yang bisa terjebak dalam pola pikir aji mumpung sehingga mempercepat penjenuhan bisnis, atau menahan gejolak demi panjangnya usia bisnis Anda yang sebenarnya sudah optimum?